Ragam  

Wayoo, Hati-hati ! Buat yang Sering Ghosting Bisa Bersentuhan Dengan Hukum

Sekretaris DPC PERADI Kota Depok Dr (Cand.) Andi Tatang Supriyadi, SE., SH., MH., (foto: oko)

Wartasentral.com, Depok – Fenomena ghosting kembali meledak di ruang publik. Isu seorang figur terkenal yang tiba-tiba “menghilang” dari pasangannya lalu muncul bersama perempuan lain.

Sehingga membuat warganet riuh, membahas ulang perilaku yang selama ini identik dengan patah hati dan permainan perasaan.

Ghosting, kini bukan sekadar istilah gaul generasi digital. Cara menghilang tanpa pamit ini, berubah menjadi fenomena sosial yang dampaknya kian nyata bahkan bisa merembet ke ranah hukum.

Konsepnya sederhana, putus komunikasi total, tanpa penjelasan dan tanpa penyelesaian hubungan. Dari PDKT, pacaran, pertemanan, hingga hubungan yang sudah direncanakan masa depannya, ghosting menjadi jalan pintas “kabur” dari situasi tidak nyaman.

Tapi konsekuensinya? Tidak sesederhana itu.Banyak korban mengaku ditinggalkan setelah diberi janji manis diajak masa depan, dijanjikan hadiah, bahkan diminta bantuan uang.

Ketika pelaku lenyap, yang tertinggal bukan hanya luka hati, tetapi juga kerugian materi. Di titik inilah, ghosting berubah dari drama percintaan menjadi potensi perkara serius.

Secara psikologis, para ahli menegaskan ghosting dapat memicu kecemasan, rasa ditolak, hingga menurunnya kepercayaan diri.

Penelitian juga menyebut cara “menghilang mendadak” sebagai salah satu bentuk pemutusan hubungan paling menyakitkan karena meninggalkan trauma jangka Panjang yang lebih mengejutkan, ghosting ternyata bisa bersentuhan dengan hukum.

Menurut Dr (Cand.) Andi Tatang Supriyadi, SE., SH., MH., Sekretaris DPC PERADI Kota Depok sekaligus praktisi hukum yang kerap menangani artis, ghosting memang bukan tindak pidana tapi bisa berubah menjadi kejahatan bila disertai motif tertentu.

“Ghosting itu bukan pidana. Tapi kalau sejak awal pelaku berbohong, memanfaatkan korban, apalagi sampai ada kerugian materi, unsur penipuan bisa terpenuhi,” jelasnya, Rabu (10/12/2025).

Ia menegaskan, Pasal 378 KUHP dapat berlaku ketika pelaku memakai tipu muslihat atau janji palsu, untuk mendapatkan barang atau uang, lalu menghilang. “Kalau kasusnya begitu, itu sudah bukan ghosting biasa. Itu kriminal,” tegasnya.

Tak hanya pidana, ghosting juga mampu merambah ranah perdata. Janji lisan termasuk komitmen hubungan, bisa dianggap perjanjian jika memenuhi syarat. Pelanggarannya dapat digugat, sebagai wanprestasi sesuai Pasal 1320 KUHPerdata.

Namun Andi Tatang Supriyadi mengingatkan, masyarakat harus tetap proporsional. “Kerugian kecil seperti batal ditraktir makan, tidak perlu dibawa ke pengadilan.

“Tapi kalau kerugian signifikan, materiil atau psikologis, proses hukum bisa jadi pilihan,” tekannya.

Akhirnya, ghosting bukan hanya tentang seseorang yang pergi tanpa pamit. Ia adalah cermin bagaimana seseorang memutus hubungan tanpa tanggung jawab dan dalam kondisi tertentu, bisa mengantar mereka dari percintaan ke jeratan pidana. (Key)

Tinggalkan Balasan