Ragam  

RUU Penyiaran Penting Disinkronisasi Dengan Perpres

RUU Penyiaran Penting Disinkronisasi Dengan Perpres
Anggota Komisi I DPR RI Amelia Anggraini. (foto : jim)
Bagikan:

Wartasentral.com, Jakarta – Anggota Komisi I DPR RI Amelia Anggraini menegaskan, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran telah berjalan secara inklusif dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

Dalam forum resmi bersama AJI, PWI, dan AVISI, Amelia mengklarifikasi Panitia Kerja (Panja) RUU Penyiaran telah menggelar lima kali rapat, termasuk Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), yang menurutnya mencerminkan prinsip partisipasi yang bermakna (meaningful participation).

Demikian ia sampaikan dalam RDPU Panja Penyiaran Komisi I DPR RI, dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Asosiasi Jurnalis Independen (AJI), dan Asosiasi Video Streaming Indonesia (AVISI), di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (6/5/2025).

“RDPU ini melibatkan semua narasi dan sumber dari berbagai asosiasi, termasuk TV swasta dan media independen. Jadi keterlibatan penuh dalam proses pembentukan RUU ini, sudah kami penuhi,” tegas Amelia.

Ia juga menyoroti urgensi RUU ini, di tengah perubahan drastis dalam lanskap penyiaran nasional. Menurutnya, dominasi platform digital seperti YouTube dan TikTok, telah menggeser peran media konvensional.

Meski platform-platform tersebut menjadi aktor utama dalam distribusi konten, jelasnya, sering kali tidak disertai tanggung jawab proporsional terhadap keberagaman isi dan keberlangsungan media nasional.

“Penyiaran kini bukan hanya soal terestrial, tapi juga digital. Dan dominasi platform digital ini, harus diimbangi dengan regulasi yang melindungi ekosistem media nasional,” ujarnya.

Politisi Fraksi Partai NasDem itu menambahkan, revisi UU Penyiaran tidak hanya perlu adaptif terhadap kemajuan teknologi, tapi juga protektif, terutama dalam menjamin keberlanjutan media lokal dan nasional.

Dalam kesempatan yang sama, ia juga menyinggung pentingnya sinkronisasi antara RUU Penyiaran dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas.

Di sisi lain, Amelia menyoroti perbedaan mendasar antara platform OTT (over the top) berbasis langganan (seperti layanan video streaming) dan media sosial berbasis konten pengguna (user-generated content), khususnya soal aspek perlindungan anak.

Kepada perwakilan AVISI, ia meminta usulan konkret mengenai bagaimana klasifikasi konten di OTT, bisa diatur secara proporsional dalam RUU tanpa menghambat inovasi dan model bisnis industri kreatif.

“Kontrol usia pada OTT memang lebih ketat, tapi kami ingin tahu bagaimana itu bisa dituangkan dalam regulasi agar tetap melindungi anak tanpa mengekang kreativitas,” terangnya.

Menutup pernyataan, Amelia mengingatkan potensi tumpang tindih regulasi antara RUU Penyiaran dengan UU ITE, UU PDP, dan Peraturan Pemerintah lainnya seperti PSMG (Pedoman Sistem Media Global).

Lantaran itu, dirinya mendorong agar regulasi penyiaran dirumuskan dengan presisi untuk menjamin perlindungan publik, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi pelaku industri digital.

Dengan pendekatan terbuka dan kolaboratif, harapnya, Komisi I DPR RI bisa menegaskan komitmen untuk menyusun UU Penyiaran yang responsif terhadap zaman, sekaligus berpihak pada kepentingan nasional dan keberlanjutan industri media.

“Kami tidak ingin, regulasi baru justru menciptakan kebingungan hukum. Maka dari itu, kami undang semua pihak untuk memberi pandangan, termasuk GTI agar proses ini benar-benar inklusif,” tutupnya. (Berbua)

Tinggalkan Balasan