Ekbis  

Penguatan KPPU Kunci Atasi Praktik Monopoli & Persaingan Usaha Tidak Sehat

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Adisatrya Suryo Sulisto. (Foto : jim)
Bagikan:

Wartasentral.com, Jakarta – Revisi UU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk menata ulang iklim persaingan usaha.

Kini, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, telah memasuki tahap penyusunan naskah akademik dan draf RUU.

Sebab itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Adisatrya Suryo Sulisto menegaskan perlunya penguatan aspek kelembagaan, hingga penajaman definisi hukum agar regulasi ini mampu menjawab tantangan persaingan usaha di era digital.

Demikian hal ini disampaikannya, dalam agenda Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR RI dengan Kepala Badan Keahlian DPR RI Bayu Dwi Anggono di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (9/9/2025).

“Penguatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah kunci. Lembaga ini harus memiliki kewenangan yang memadai, untuk mengatasi praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,” ujar Adisatrya saat membuka forum.

Menurutnya, salah satu isu utama dalam revisi regulasi ini adalah soal penegakan hukum. KPPU, sebagai lembaga pengawas persaingan, kerap menghadapi keterbatasan kewenangan dalam menindak pelanggaran.

DPR menilai, tanpa penguatan kelembagaan, praktik monopoli yang merugikan konsumen maupun pelaku usaha kecil akan sulit diberantas.

“Lemahnya instrumen penegakan hukum, membuat banyak kasus berhenti di tengah jalan. Revisi ini diharapkan memperkuat posisi KPPU, tidak hanya sebagai regulator, tapi juga sebagai eksekutor yang efektif,” tegasnya.

Isu lain yang menjadi sorotan adalah, kebutuhan akan definisi yang lebih komprehensif. Menurutnya, UU yang berlaku saat ini masih belum memberikan batasan jelas terkait istilah kunci, seperti monopoli, dominasi pasar digital, maupun persaingan usaha tidak sehat.

“RUU ini membutuhkan definisi yang lebih jelas, termasuk mengenai dominasi pasar digital, algoritma, program leniency, serta konsep pasar yang relevan. Tanpa definisi yang tepat, akan sulit menegakkan aturan di lapangan,” jelasnya.

Hal ini penting, terutama di tengah perkembangan ekonomi digital yang semakin pesat. Dominasi perusahaan besar berbasis platform digital, berpotensi menekan pemain kecil jika tidak ada regulasi yang kuat.

Selain itu, Adisatrya juga menyoroti implikasi revisi UU ini terhadap ekosistem bisnis secara luas, khususnya bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

“Daya saing UMKM, menjadi salah satu perhatian utama. Jangan sampai regulasi ini, justru membatasi ruang inovasi mereka. Sebaliknya, RUU harus memastikan UMKM terlindungi dari dominasi pemain besar,” ujarnya.

Sementara itu, pola sinergi antar-BUMN juga dinilai rawan menimbulkan praktik kompetisi tidak sehat. Ia menekankan perlunya kehati-hatian dalam menyusun pasal agar kerja sama antarBUMN tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat atau pelaku usaha lainnya.

Mengakhiri pernyataan, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu memberikan apresiasi pelantikan Kepala Badan Keahlian Setjen DPR RI yang baru itu.

Ia berharap, lembaga tersebut dapat memberikan dukungan akademis dan kajian komprehensif dalam pembahasan RUU strategis ini. (Berb)

Tinggalkan Balasan