Pengamat Politik Nilai MK Menjelma Jadi Lembaga Superbody Tanpa Pengawasan

Pengamat Politik Nilai MK Menjelma Jadi Lembaga Superbody Tanpa Pengawasan
Pengamat politik Abdul Hakim AS (foto : Ist)
Bagikan:

Wartasentral.com, Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang memerintahkan pemisahan antara pemilu nasional dan lokal sebagai bentuk judicial activism, berpotensi melampaui kewenangannya sebagai lembaga Yudikatif.

Demikian ungkapan pengamat politik Abul Hakim AS, dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia bertema “Menata Ulang Demokrasi: Implikasi Putusan MK dalam Revisi UU Pemilu”, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (6/8/2025).

Ia menilai MK saat ini, telah menjelma menjadi lembaga superbody yang tidak memiliki mekanisme pengawasan, bahkan mampu ‘menyihir’ seluruh sistem politik hanya dengan keputusan dari sembilan hakim konstitusi.

“Saya cukup terkejut, dengan putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah. Putusan ini keluar tanpa melalui diskusi terbuka dengan publik, Bawaslu, KPU, apalagi DPR. Padahal pemilu itu menyangkut seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.

Abdul Hakim menekankan, keputusan sebesar itu semestinya melalui konsultasi luas dengan berbagai pemangku kepentingan.

Menurutnya, MK seharusnya hanya bertugas sebagai interpreter undang-undang, bukan pembentuk norma baru.

“MK itu tugasnya menafsirkan, bukan membuat norma. Tapi yang terjadi saat ini, MK seperti menggeser posisi pembentuk undang-undang. Ini yang saya sebut sebagai judicial activism yang terlalu jauh,” kritiknya.

Ia juga menyinggung keputusan memisahkan pemilu nasional dan daerah, akan berimbas pada tumpang tindih aturan dalam sistem ketatanegaraan.

Salah satu contohnya adalah, masa jabatan DPRD yang bisa berubah menjadi tujuh tahun karena jeda antara pemilu nasional dan daerah.

“Kalau DPRD tidak ikut pemilu nasional, maka masa jabatan mereka bisa sampai tujuh tahun. Ini jelas menabrak prinsip dasar pemilu lima tahunan dalam UUD 1945,” kupasnya lagi.

Abdul Hakim menyebut, MK selama ini cenderung leluasa lantaram tidak ada lembaga yang mengawasi atau dapat mengoreksi putusannya. Padahal, dalam sistem demokrasi modern, prinsip check and balance adalah keniscayaan.

“MK sekarang seperti Sabdo Pandito Ratu, putusannya final dan mengikat, tapi tidak ada lembaga yang bisa menguji atau menantang putusan tersebut. Ini sangat berbahaya bagi demokrasi,” tegasnya.

Ia juga menyinggung perlunya pembaruan sistem kelembagaan MK, agar tidak menjadi satu-satunya lembaga tanpa pengawasan.

“Kalau ada pelanggaran etik, mereka sendiri yang mengadili, menyusun aturan dan menyusun anggarannya sendiri. MK, tidak boleh dibiarkan seperti ini terus,” tutupnya. (Berbua)

Tinggalkan Balasan