Wartasentral.com, Kota Bandung – Konflik geopolitik perang Israel – Iran yang tengah berlangsung, telah memengaruhi pergerakan pasar modal. Ketidakpastian yang muncul akibat konflik ini menjadi momok bagi para investor, baik institusi maupun ritel, Dimana, psikologi pasar cenderung bereaksi negatif terhadap ketidakpastian.
Kepala Kantor Perwakilan BEI Jawa Barat Achmad Dirgantara mengatakan, banyak investor memilih menjual saham dan mengalihkan dana ke aset “safe haven” seperti emas atau obligasi pemerintah.
Lonjakan harga emas pada awal perang Rusia-Ukraina, adalah contoh nyata bagaimana investor mencari perlindungan.
Selain itu, investor global cenderung menarik modalnya dari pasar negara berkembang (emerging markets), termasuk Indonesia, untuk mengurangi risiko.
Penarikan dana ini dikenal dengan istilah capital outflow, yang kemudian menekan nilai tukar mata uang lokal dan membuat volatilitas pasar semakin tinggi.
“Salah satu dampak langsung dari perang adalah fluktuasi harga komoditas global, khususnya minyak, gas, dan pangan,” seru Achmad, Senin (7/7/2025).
Misalnya, tambahnya, Rusia dan Ukraina merupakan eksportir gandum terbesar dunia. Konflik di wilayah tersebut sempat memicu lonjakan harga gandum global, hingga puluhan persen. Kenaikan harga pangan dan energi, kemudian mendorong inflasi di banyak negara.
Di Indonesia, saham-saham sektor energi (misalnya emiten batu bara atau minyak) bisa terdorong naik saat harga energi dunia melonjak.
Akan tetapi, bagi sektor yang sangat bergantung pada bahan baku impor (seperti industri manufaktur), kenaikan harga komoditas justru bisa menjadi beban yang mengurangi profitabilitas.
“Saat konflik geopolitik meletus, investor global cenderung memilih mata uang yang lebih stabil seperti dolar AS,” ungkapnya.
Akibatnya, mata uang negara berkembang, termasuk rupiah, sering kali tertekan. Depresiasi rupiah akan meningkatkan biaya impor, menaikkan beban utang perusahaan yang memiliki kewajiban dalam dolar, dan berpotensi menekan laba bersih emiten.
Sebaliknya, bagi emiten yang memiliki pendapatan ekspor dalam dolar, pelemahan rupiah bisa menjadi keuntungan tambahan.
Contohnya, perusahaan kelapa sawit atau nikel yang mengekspor produknya dalam dolar, bisa mencatatkan keuntungan selisih kurs.
Adapun sektor usaha yang rentan, menurut Achmad adalah manufaktur berbasis impor. Kenaikan harga bahan baku dan pelemahan rupiah, bisa menggerus margin laba.
“Lalu transportasi & logistik, terkena dampak kenaikan harga bahan bakar. Perbankan juga mengalami risiko kredit meningkat jika banyak perusahaan yang kesulitan membayar utang,” bebernya.
Sektor yang diuntungkan adalah energi dan batu bara ,berkat harga komoditas global yang naik karena permintaan tinggi.
Selain itu, perkebunan (CPO, karet) juga mendapat tambahan pendapatan ekspor. Lalu, logam dan mineral (nikel, tembaga) medapatkan dukungan permintaan global, khususnya terkait energi baru terbarukan.
Ia menekankan, penting bagi investor untuk fokus pada fundamental perusahaan, bukan hanya sentimen sesaat.
Perusahaan dengan manajemen solid, model bisnis kuat, serta rekam jejak kinerja yang baik biasanya mampu bertahan, bahkan berkembang di tengah gejolak. Investor, perlu punya strategi investasi di tengah gejolak.
Pertama, diversifikasi portofolio dengan cara tidak menaruh seluruh dana pada satu sektor atau satu jenis aset.
Diversifikasi, membantu meminimalkan risiko. Kedua, perhatikan valuasi. Saat harga saham turun, jangan langsung tergoda. Pastikan valuasi, masih menarik secara fundamental.
Ketiga, tetap berpegang pada rencana keuangan. Konflik global, seharusnya tidak mengubah tujuan investasi jangka panjang.
Jika tujuan investasinya adalah pensiun 20 tahun lagi, maka volatilitas jangka pendek sebaiknya tidak mengganggu.
Keempat, kombinasikan dengan instrumen defensif, seperti obligasi pemerintah atau reksa dana pasar uang yang bisa dijadikan penyeimbang portofolio saat pasar saham bergejolak.
Kelima, pantau sektor-sektor yang resilient. Sektor consumer staples, kesehatan, dan energi umumnya lebih stabil dalam situasi krisis.
Achmad mengutarakan, perang Rusia-Ukraina yang meletus pada Februari 2022 menjadi salah satu contoh konkret.
Pada saat itu, harga minyak Brent naik hingga di atas USD120 per barel, harga emas melonjak, dan bursa saham global sempat melemah signifikan.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, pasar mulai menyesuaikan diri. Selain itu, harga komoditas yang tinggi menguntungkan Indonesia sebagai negara eksportir.
Konflik geopolitik memang membawa risiko besar, tetapi juga menghadirkan peluang bagi investor yang siap.
Pemahaman mendalam terhadap faktor makroekonomi, arus modal, pergerakan nilai tukar, dan harga komoditas menjadi kunci untuk mengambil keputusan yang lebih bijak.
Pasar modal, selalu bergerak mengikuti dinamika global. Bagi investor ritel, hal terpenting adalah disiplin, edukasi yang berkelanjutan, serta kemampuan mengelola emosi.
“Dengan demikian, investor bisa tetap tenang di tengah badai, sekaligus memanfaatkan momentum untuk meraih hasil optimal dalam jangka Panjang,” tutupnya. (Key)