Ragam  

Dodo Lantang Kian Lantang Dalam Buku Mentang Mentang Oligarki

Dodo Lantang Kian Lantang Dalam Buku Mentang Mentang Oligarki
Dodo Lantang penulis buku Mentang Mentang Oligarki saat membawakan puisi dalam peluncuran buku Mentang Mentang Oligarki di Cafe CJW Garden, Sukmajaya, Depok, Sabtu (24/5/2025). (foto: Riki)
Bagikan:

Wartasentral.com, Depok – Berangkat dari pengamatannya melihat fenomena-fenomena oligarki, yang kian merasuk sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia dan menggerogoti pilar-pilar kebudayaan Nusantara, membuat Penulis Dodo Lantang mulai membubuhkan keresahannya ke dalam puisi selama 2 tahun, hingga akhirnya kumpulan puisi – puisinya itu terangkum dalam sebuah buku berjudul “Mentang Mentang Oligarki”.

“Sederhananya begini, fenomena – fenomena oligarki itu kita pahami sebagai sebuah kekuatan kecil yang mendominasi, baik secara politik baik secara ekonomi,” ungkapnya disela peluncuran Buku Mentang Mentang Oligarki karya Dodo Lantang, di Cafe CJW Garden, Jalan Boulevard GDC, Sukmajaya, Kota Depok, Sabtu (24/5/2025).

Ia menyampaikan, baik secara budaya juga oligarki sudah masuk ke ruang itu semua, cuma ada yang sadar tapi tidak menyuarakan dan yang menjadi permasalahannya adalah, mereka yang tidak sadar dengan perilaku-perilaku oligarki tersebut.

Ini sebetulnya bahaya, tukas Dodo,sebagai sebuah sikap dan sebagai sebuah budaya, oligarki ini pada akhirnya bisa menguasai sistem – sistem yang tidak berpihak kepada masyarakat.

“Makanya pada saat kita berbicara tentang oligarki, saya melihat fenomena di masyarakat, melihat kawan-kawan kita di rumahnya,” sambungnya.

Seperti puisi karyanya berjudul Rice Cooker Menanak Sunyi, Microwave Bekas Rumah Kontrakan, Panci yang Tak Pernah Mendidih dan Dispenser Kosong di Akhir Bulan, itu semua realita yang Dodo lihat.

Ia mengatakan, banyak teman-teman yang masih kesulitan secara ekonomi. Namun, itu salah siapa.

“Saya pikir persoalannya bukan salah dan benar, tetapi bagaimana pemerintahan itu bisa terbebas dari oligarki itu sendiri. Kepuasan yang benar-benar mengikat, ya kekuasaan itu,” tegasnya.

Dodo Lantang menyampaikan, Buku Mentang Mentang Oligarki tersebut ia tulis bukan untuk dikutip di seminar, tetapi untuk mengusik nurani. Meski kumpulan puisinya dalam buku itu menyerupai laporan sosiologi politik, namun puisi itu hadir ditengah rasa jengah, marah dan sedih yang sukar ia jelaskan.

“Buku Mentang Mentang Oligarki ini, saya ingin berbicara konteks oligarki ke dalam definisi yang paling sederhana. Bahkan, dalam puisi saya berjudul Mentang Mentang Oligarki, jangan – jangan kita adalah oligarki itu sendiri,” paparnya.

Dalam istilah Jefrey Winters (2011), kutipnya, mereka yang disebut oligarki bukan hanya orang kaya tapi mereka yang kekayaannya cukup besar untuk membeli perlindungan. Winters, menyebut itu sebagai politics of wealth defense.

Dodo menyaksikan jentik tersebut terjadi di gang-gang sempit, kamar mandi, dapur rakyat sampai layar gadget. Pasalnya dalam dunia nyata, kekuasaan tidak runtuh oleh metafora dan mereka yang berkuasa mungkin tertawa, bukan karena lucu tapi karena aman.

Ia menegaskan, puisi-puisinya itu terpaksa lahir dari ruang-ruang itu. Dari dapur yang kosong, dari suara ikan asin di Pasar dan dari Sawah yang kehilangan keringat yang ia tumpahkan dalam puisi berjudul Embun di Ujung Daun Padi dan Jabodetabek Dalam Catatan Kusam.

“Tentu saya faham, puisi tidaklah cukup dan saya tahu perubahan tidak datang dari diam. Maka saya menulis dengan bahasa sederhana, tidak memenjarakan teks terhadap konteks. Saya tak ingin puisi ini sekedar dibaca dan dikagumi, saya ingin ia menggangu tidur, menimbulkan tanya dan membuat siapapun yang membacanya bertanya ulang. Apakah kita sedang hidup di negeri demokratis atau dalam Republik pesanan para oligarki?,” ulasnya.

Dodo mau semua mulai sadar, yang dipertanyakan bukan sekedar elit di layar kaca. Tapi, sistem yang membuat semua terlatih untuk tunduk bahkan sebelum bersuara.

Ia lantas berpesan kepada para birokrat baik yudikatif dan legislatif, sterilkan program dan regulasi yang benar-benar untuk kepentingan masyarakat. Terutama, jangan ada susupan-susupan kepentingan yang pada akhirnya mengorbankan masyarakat.

Katanya, jika puisinya itu bisa membuat seseorang berhenti sejenak, menatap panci kosong, memungut keringat pada sawahnya dan bertanya kenapa masih begini, maka ia anggap puisinya itu berhasil.

“Karena dari tanya-tanya kecil itu, barangkali perubahan bisa singgah di Negeri ini. Semoga dari puisi kita belajar lagi, bahwa diam bukan pilihan. Karena seperti yang saya tulis, puisi tidak akan menggulingkan oligarki, tapi puisi bisa membuat mereka kehilangan tidur,” pungkasnya. (Key)

Tinggalkan Balasan