Ekbis  

Sudah Merdeka 80 Tahun, Kesenjangan Kaya & Miskin di Indonesia Kian Tajam

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago (kanan). (Foto : Ist)
Bagikan:

Wartasentral.com, Jakarta – Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago, menyoroti persoalan kesenjangan sosial-ekonomi yang masih tajam, meskipun Indonesia sudah 80 tahun merdeka.

Ia menilai, bahwasannya kesejahteraan di Indonesia hanya dinikmati segelintir elit dan pejabat, sementara rakyat kecil terus tercecer.

Demikian Pangi paparkan, dalam sebuah Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia dengan tema “Sinergi Sistem Keuangan Negara dan Perekonomian Nasional bagi Peningkatan Kesejahteraan Sosial” di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (24/9/2025).

Menurutnya, sejak merdeka, prinsip utama bangsa adalah kesejahteraan. Namun, setelah 80 tahun, justru pejabat yang sejahtera, rakyatnya yang tercecer.

“Yang kaya tujuh turunan, yang miskin tujuh turunan,” ujar Pangi seraya menambahkan, ketimpangan itu semakin diperparah dengan kebijakan fiskal yang tidak berpihak pada rakyat.

Ia menyoroti pemangkasan transfer dana ke daerah, yang berdampak langsung pada gaji tenaga honorer dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).

“Yang terganggu, justru gaji pegawai paruh waktu dan PPPK. Mereka hanya hidup dengan Rp1,2 juta sebulan, dipotong lagi. Bupati jadi kewalahan karena transfer daerah dipangkas,” tegasnya.

Selain itu, ia juga mengkritik kebijakan pajak yang cenderung menyasar kelompok menengah ke bawah. Menurutnya, negara lebih suka memburu pajak dari rakyat kecil ketimbang menutup kebocoran di sektor tambang, migas, dan perkebunan.

“Negara ini seperti berburu di kebun binatang. Pajak tanah, kendaraan, rumah, digital, semua dikejar. Tapi sektor tambang dan migas yang bocor, sampai 80 persen dibiarkan,” kata Pangi.

Ia menambahkan, persoalan utama Indonesia bukan keterbatasan sumber daya, melainkan kegagalan negara dalam mengelola kekayaan alam.

Hal itu, menurutnya, menjadikan pejabat dan oligarki semakin makmur, sementara rakyat semakin terpinggirkan.

Pangi juga menyoroti melemahnya representasi politik rakyat akibat dominasi oligarki. “Undang-undang lebih sering menjadi titipan investor dibanding mewakili kepentingan rakyat. Inilah yang membuat suara rakyat tersisih,” ujarnya.

Di akhir, ia mengingatkan pentingnya kembali pada semangat Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan pengelolaan bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

“Data menunjukkan 78 persen pendapatan rakyat Indonesia, masih di bawah Rp700 ribu per bulan. Sementara, segelintir orang terkaya bisa menutupi kebutuhan ratusan juta rakyat. Kesenjangan ini makin dalam,” utasnya. (Berb)

Tinggalkan Balasan